SEJARAH
PROGRAM STUDI OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
Riwayat Program Studi Obsteri dan Ginekologi RSUP Dr.Kariadi Semarang tidak dapat dilepaskan dari riwayat RS. Dr. Kariadi sendiri yang meliputi masa pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang Pelayanan Obstetri dan Ginekologi di Semarang secara umum tidak terlepas dari adanya sumber daya manusianya. Menyinggung tentang orang/ tokoh yang terlibat dan bekerja pada Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Undip/RSUP Dr. Kariadi secara garis besar dapat dibagi menjadi dua periode yaitu :
PERIODE SEBELUM DOKTER SPESIALIS KEBIDANAN
Periode 1925 – 1942 (Masa Pemerintahan Hindia Belanda)
Pada tahun 1919 tercetuslah gagasan dan rencana dari dr. N.F. Liem untuk mengganti dan menggabungkan Rumah Sakit Kota (Stadverband Ziekenhuis) yang ada di Tawang dengan Rumah Sakit Kota Pembantu (Hulp Stadverband Ziekenhuis) di alun-alun Semarang. Rencana tersebut dapat diwujudkan dengan membangun sebuah rumah sakit yang lebih besar di Kota Semarang. Pembangunan rumah sakit dimulai pada tahun 1920 dan selesai lima tahun kemudian.
Pada tanggal 9 September 1925 lahirlah Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting yang terkenal dengan nama CBZ. Pada waktu itu kapasitas rumah sakit sebanyak 500 tempat tidur. Tempat perawatan orang sakit terdiri dari bangsal-bangsal besar yang menampung empat puluh lima tempat tidur. Fasilitas ruangan tersebut disesuaikan dengan penghidupan kaum Indlander pada zaman itu. Beberapa spesialisasi sudah ada, yaitu bagian penyakit dalam, bagian bedah, bagian kebidanan, dan penyakit kandungan. Perencana Ooiman Van Leeuwen dan Wijanarko (Opzichter pelaksana) sudah berfikir lebih jauh, sehingga dalam arsitektur bangunannya sudah tampak jelas pemisah antara poliklinik dan ruang rawat inap.
Direktur yang pertama memimpin rumah sakit ini ialah dr. N.F. Liem. Nama dr. N. F. Liem dan nama isterinya Liembergsma kemudian dipergunakan untuk nama jalan di kompleks perumahan tenaga perawatan.
Pada mulanya rumah sakit ini mengutamakan pada fungsi pelayanan medis berupa pengobatan kuratif dan fungsi pendidikan paramedis. Telah ada beberapa bagian yang bersifat spesialistik antara lain Bagian Penyakit Dalam, Bagian Bedah, Bagian Anak serta Bagian Kebidanan Penyakit Kandungan. Hal tersebut kemudian diikuti berdirinya bagian – bagian lain yaitu bagian Mata, THT, Kulit dan Kelamin. Hal ini ada hubungannya dengan berdirinya Rumah Sakit Tentara Semarang yang sudah mempunyai ahli dalam bidang tersebut.
Periode 1942–1945 (Zaman Pendudukan Jepang)
Pada saat ini rumah sakit tidak banyak mengalami perubahan. Penguasa Jepang membatasi diri, hanya meneruskan dan menjalankan usaha–usaha yang sudah ada dan tidak satupun orang Jepang yang bekerja di rumah sakit ini. Hal ini sangat menguntungkan, karena dengan demikian pemuda–pemuda rumah sakit dapat lebih leluasa menggabungkan diri dengan pejuang–pejuang lainnya di kota Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang ini, dokter–dokter Belanda ditawan dan untuk mengisi kekosongan pimpinan rumah sakit maka mulailah rumah sakit ini dipimpin oleh putra Indonesia yaitu Dr. Notokuworo yang dilanjutkan oleh Dr. Buntaran Martoatmodjo sampai tahun 1945. Dari sini dapat dilihat bahwa sejak Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada Jepang, rumah sakit ini sudah dipimpin oleh Bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah Jepang mengganti nama CBZ menjadi Purusara singkatan dari “ pusat rumah sakit rakyat “ yang dalam bahasa Jepang disebut Chuo Simin Byoing.
Periode 1945–1950 (Masa Revolusi/ Peralihan)
Jepang kemudian dapat dikalahkan oleh Sekutu; dan pada saat yang bersamaan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Rupanya pihak Jepang hanya mau tunduk kepada Sekutu, akibatnya meletuslah pertempuran lima hari di kota Semarang, yang meletus pada tanggal 14 Oktober 1945. Pertempuran ini merupakan pertempuran antara pemuda – pemuda kita melawan tentara Jepang yang tidak rela melepaskan kekuasannya. Pertempuran tersebut dirasakan di seluruh kota Semarang dan dihayati oleh segenap warga kota.
Pada pertempuran ini ditandai dengan gugurnya Dr. Kariadi ditembak tentara Jepang ketika beliau akan memeriksa reservoir air minum yang menurut berita telah diracun oleh Jepang. Kemudian terjadi pertempuran sengit di depan rumah sakit, tentara jepang memberondong dengan senapan mesin, jatuh korban para karyawan rumah sakit. Hari – hari berikutnya rumah sakit yang dianggap sebagai tempat pemuda – pemuda mengatur strategi perjuangan dikepung dan diintai terus menerus oleh tentara Jepang. Baru tanggal 17 Oktober 1945 jenazah Dr. Kariadi dapat dikebumikan setelah 3 hari meninggal.
Kedatangan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) di Kota Semarang tidak dapat ditahan lagi. Banyak dokter dan karyawan perawatan yang meninggalkan Kota Semarang menuju daerah-daerah Republik (daerah yang dimiliki oleh Indonesia pada masa Agresi Belanda I). Berhubung Dr. Buntaran sudah lebih banyak berada di Jakarta, maka sejak tahun 1945 sampai dengan 1948 rumah sakit ini dipimpin oleh Dr. Soekardjo.
SETELAH ADA DOKTER SPESIALIS KEBIDANAN
Pada tahun 1955, RSDK mempunyai seorang spesialis Obstetri dan Ginekologi yang tetap, Dr. Sardjono Dhanudibroto. Pada masa ini pelayanan Obstetri dan Ginekologi mulai lebih diperhatikan dan ditingkatkan.
Keterbatasan jumlah ahli Obstetri dan Ginekologi dan sarana penunjang yang ada pada saat ini sangatlah berpengaruh terhadap tata kerja bagian. Jumlah penderita semakin banyak, sementara dokter yang ada sangat sedikit. Jumlah penderita bersalin saat itu lebih kurang 300 orang setiap bulan. Kadang – kadang satu tempat tidur digunakan oleh dua orang yang hendak bersalin. Apabila yang satu hendak melahirkan yang satunya duduk.
Kemudian diambil keputusan untuk merawat penderita bersalin hanya 1 x 24 jam. Kebijaksanaan ini mendapat tantangan dari kalangan wakil rakyat yang menyebutnya sebagai tindakan tak berperikemanusiaan. Namun setelah menerima keterangan dari Dr. H.A.S. Dhanudibroto saat itu mau memahami keputusan tersebut. Dengan pertimbangan lebih baik memulangkan penderita yang sudah melewati masa kritis dari pada menolak yang datang pada masa kritis, akhirnya kalangan DPRD dapat menerima kebijakan yang diambil oleh bagian Obstetri dan Ginekologi.
Ibu pasca persalin satu hari ini setelah dipulangkan kemudian diserahkan pengelolaan selanjutnya kepada bidan terdeka. Masalah yang timbul kemudian adalah dalam segi pembiayaan terdapat pelayanan ini. Penderita tidak mau membayar pelayanan lanjutan tersebut, sedangkan bidan tidak bersedia memberikan pelayanan kalau tidak memperoleh imbalan.
Pada perkembangan selanjutnya untuk mengantisipasi tidak seimbangnya antara jumlah ibu hendak bersalin dengan jumlah tenaga kesehatan dan tempat pelayanan, maka sejak tahun 1958 dijalankan kebijakkan bahwa RSUP Dr. Kariadi hanya memberikan pelayanan kasus – kasus rujukan. Bagi ibu yang hendak melahirkan dianjurkan ke klinik Mardi Waluyo atau bersalin dirumah dengan memanggil bidan terdekat. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah “ Partus Luar”.
Oleh karena tempat pelayanan masih dirasakan kurang, maka pada tahun 1955 didirikan klinik bersalin di kawasan Peterongan pada tahun 1956 – 1957 didirikan pula di kawasan Pandanaran. Yang bertugas memberikan pelayanan pada “Partus Luar” ini adalah siswa bidan, bidan dan mahasiswa kedokteran. Peralatan, obat – obatan habis pakai yang digunakan tetap disediakan oleh RSUP Dr. Kariadi. Setiap bulannya melayani kurang lebih 90 persalinan.
Pada masa ini, RSDK juga mendapat tambahan tenaga dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi dari Universitas Gajah Mada, Dr. Sudibyo Tjokrodiprojo. Akan Tetapi beliau kemudian meninggal sewaktu operasi oleh karena serangan jantung. Kemudian pada tahun 1964 mendapatkan tambahan seorang dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi dari Surabaya yaitu Dr. Ariawan Soejoenoes.
Pada saat ini sudah mulai ada asisten dan mahasiswa kedokteran, terlebih lagi setelah berdirinya Universitas Diponegoro pada tahun 1961, meskipun keputusan kerja sama ini baru di tetapkan secara resmi dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan tanggal 2 Mei 1975 dengan nomor 132/V/Kab/Bu/1975.
PERIODE 1950 – Sekarang
Satu kalimat yang mungkin paling tepat dikatakan pada masa ini adalah “Dokter itu sangat mahal . Bukan mahal dalam arti finansial akan tetapi dalam segi jumlahnya. Sebelum Dr. H.A.S.Dhanudibroto hadir di Semarang sebagai ahli Obstetri dan Ginekologi tahun 1955, terdapat juga beberapa dokter yang memimpin bagian Obstetri dan Ginekologi, antara lain :
- Goenadi Wreksoadmodjo 1948 – 1950
- R. Sardjono 1948 – 1955
- Soediono 1951
- Liem Khe Tjong 1950 – 1958
- Suhardi 1952 – 1955
- Giovani Garbarino (Italia) 1954 – 1957
- Suwondo 1954 – 1955
Dr. Goenadi Wreksoadmodjo setelah yahun 1950 kemudian pindah tugas ke Jakarta. Sedangkan Dr. Suwondo, adalah dokter berpangkat kolonel yang diperbantukan oleh Rumah Sakit Tentara. Pada masa itu pelayanan Obstetri dan Ginekologi lebih banyak dilakukan oleh bidan sedangkan dokter bertugas sebagai operator pada tindakan pembedahan besar serta sebagai konsultas. Dokter selama bertugas tetap dibantu oleh para bidan, apakah sebagai asisten operasi atau sebagai narkotizer. Untuk tindakan operatif yanglain seperti ekstraksi forseps, embriotomi, manual plasenta dan persalinan sungsang dilakukan oleh bidan.
Dalam bidang pendidikan dokter ataupun bidan, bidan adalah pendidik untuk masa ini, partus luar yang dilakukan juga dalam pengawasan bidan. Pada masa ini belum ada keteraturan dari pihak bidan pendidik, penilai teori juga menilai praktek. Untuk pendidikan dokter, mahasiswa yang ada saat ini dari Universitas Gadjah Mada, oleh karena Universitas Diponegoro belum berdiri. Pada masa ini, setelah Dr. Goenadi pindah, digantikan oleh Dr. R. Sardjono dan mendapat tenaga spesialis Obstetri dan Ginekologi paro waktu (“part time”) dari Rumah Sakit Tentara, Dr. Soewondo. Juga mendapat tambahan tenaga dokter Dr. LiemKhe Tjong, tetapi beliau kemudian pindah tugas ke Belanda.
Pada masa ini, RSDK juga mendapat tenaga spesialis untuk bidang 4 dasar dari Universitas Gadjah Mada. Pada masa periode ini nama Purusara digantikan dengan Rumah Sakit Umum Pusat ( R.S.U.P) Semarang, dan semakin berkembang sesuai dengan tuntutan alam kemerdekaan, dan tidak terlepas dari bidang pendidikan mahasiswa kedokteran,paramedis maupun dokter ahli.
Sejak tahun 1953, bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, rumah sakit ini dipakai sebagai tempat praktik mahasiswa kedokteran. Dengan berdirinya Universitas Diponegoro pada tahun 1961, diadakan kerjasama antara RSUP Semarang dengan UNDIP dalam pendidikan mahasiswa kedokteran, tetapi secara resmi baru ditetapkan dengan Surat Keputusan Menurut Menteri Kesehatan tanggal 2 Mei 1975 Nomor 132/V/Kab/Bu/1975 menjadi rumah sakit pendidikan.
Asisten yang terdaftar setelah kehadiran Dr. Ariawan Soejoenoes adalah :
- Sudibyo
- Rustanto ( beliau kemudian menjabat IKKES Jawa Tengah, sata ini Kanwil)
- Abimanyu Sadiman ( pensiun sebelum selesai pendidikan)
- Sumarsono
- Lilik Gunawan ( beliau kemudian pindah ke Bagian Patologi Anatomi)
- Untung Praptohardjo